Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramayana : Rama Tundhung

Pada suatu hari Prabu Dasarata yang merasa diri sudah puas memegang takhta kerajaan Ayodya bermaksud menyerahkan takhta kerajaan kepada Ramabadra. Rama dianggapnya cukup mampu untuk menerima tugas berat itu karena ia telah berkali-kali dapat menghadapi kesulitan dan sakti sekali. Dalam hal ini Prabu Dasarata lupa bahwa dahulu waktu ia ingin mempersunting Dewi Keyaki ibu dari Barata pernah mengucapkan kesanggupan kepada sang dewi bahwa kelak kalau Dewi Keyaki melahirkan seorang putra, maka putra yang dilahirkannya itulah yang akan menggantikan ayahnya menjadi raja Ayodya.

Pada suatu pagi sang Prabu duduk di pagelaran dihadap oleh para satria, adipati dan bupati. Mereka menghadapi upacara serah terima jabatan raja Ayodya. Rama akan dinobatkan menjadi raja sedangkan sang Prabu akan menjadi Bagawan.



Kemenyan telah dibakar, dan asapnya mengepul tinggi. Kursi singgasana dan sekitarnya dihias indah.

Tidak lama kemudian sang prabu menyatakan kepada yang hadir bahwa sejak saat itu Raden Ramabadra atau Raden Ramawijaya dinobatkan menjadi raja Ayodya dan bahwa sang Prabu sendiri sejak saat itu menarik diri dari kehidupan keduniawian dan menjadi pendeta. Agar semua yang hadir menjadi saksi.

Setelah upacara selesai dan dilanjutkan dengan pesta makan bersama, sang Prabu kemudian memasuki istana bersama putranya Ramawijaya.
Para pujangga menggambarkan upacara itu dalam syair Macapat sinom sebagai berikut:

Tinarik ing singgasana
Punggawa sami ngestreni

Yen ingkang rama magawan

Bujana sumilih silih

Tusuk sagung kang nangkil

Sasolahe boja nutug

Kondur sri dasarata

Miwah kang putra narpati

Angadhaton sareng maksih nunggil pura


Yang artinya bahwa Rama sejak itu naik takhta, dengan disaksikan oleh para punggawa. Ayahnya sejak saat itu menjadi pendeta.
Pesta makan diadakan oleh semua yang hadir sepuas-puasnya. Setelah itu sri Dsarata memasuki istana bersama sang prabu putranya. Mereka untuk sementara masih tinggal seistana.

Pada waktu itu Dewi Keyaki yang sedang berada di kepuntren baru saja mendengar tentang upacara tersebut, bahwa Rama sekarang telah menggantikan ayahnya menjadi raja, Dewi Keyaki marah sekali. Ia datang pada sri Dasarata. Ia menagih janjinya dahulu.

Dewi Keyaki yang sedang marah itu mengatakan kepada Sri Dasarata bahwa mestinya yang menjadi raja Ayodya menggantikan ayahnya itu Raden Barata yang dilahirkannya. Ia meminta agar Rama segera meninggalkan istana dan masuk ke hutan.

Mendengar ini Sri Dasarata tertegun, ia tidak menolak, ia memenuhi semua permintaan Dewi Keyaki. Begitu juga Prabu Ramawijaya, ia memenuhi saja apa yang diperintahkan ayahnya padanya, ialah meninggalkan istana dan memasuki hutan.



Rama meninggalkan istana hanya diikuti oleh istri dan adik laki-laki yang lahir dari ibu Dewi Sumitra yang tua , ialah Lesamana. Pada saat itu juga terjadi kegaduhan diistana, ialah Sri Dasarata jatuh pingsan. Ia ternyata semacam mendapat pukulan batin yang tiada taranya. Ia ternyata sangat mencintai Rama.
Putranya yang tinggal di istana sekarang kecuali Barata juga Raden Teruna, putra yang lahir dari Dewi Sumitra yang muda. Kecintaan Sri Dsarata kepada Rama itu benar-benar tidak dapat dirahasiakan. Dan mencintai Rama ini bukan hanya Sri Dsarata saja, tetapi hampir semua punggawa, banyak punggawa yang ikut bahkan banyak pula punggawa yang memohon kepada Rama agar tetap tinggal di istana mempertahankan haknya.

Tetapi Rama mengatakan kepada mereka agar jangan ada yang ikut. Semua ini menurut Rama adalah kehendak dewa yang melalui perantaraan ayahnya.
Kata Rama kepada punggawa, “ kembalilah kalian ke istana. Aku sangat mencintai kanjeng rama. Aku akan melaksanakan semua perintahnya. Aku dapat melihat dunia, dapat mengerti apa yang disebut utara, timur, selatan dan barat itu adalah karena adanya kanjeng rama. Sampaikan kepada kanjeng rama bahwa aku senang hati akan memasuki hutan-hutan lebat.

Aku memohon restunya dan aku memohon agar adikku Barata dijadikan penggantiku memegang takhta kerajaan Ayodya. Sama saja ia denganku. Sudahlah, lekas kalian menghadap kanjeng rama.”

Setelah berkata demikian berulah Rama memasuki hutan-hutan lebat, dengan diikuti oleh istrinya yang setia Dewi Sinta dan adiknya Lesmana. Walaupun banyak punggawa yang kembali ke istana untuk menyampaikan pesan Rama kepada ayahnya, tetap saja tidak sedikit para menteri yang mengikuti Rama memasuki hutan-hutan lebat.

Sejak itu Rama , Sinta dan Lesmana hidup dihutan-hutan lebat. Dewi Sinta ternyata sungguh merupakan wanita utama yang patut menjadi tauladan. Ia setia sekali kepada suami. Walaupun sejak kecil ia biasa hidup di istana dan sekarang ia harus hidup sengsara dalam hutan-hutan lebat, sedikit pun tidak pernah tergoyah hatinya untuk meninggalkan suami atau menyalahkan suami yang tidak mempertahankan haknya.

Pada hari pertama kalau merasa mengantuk, Rama, Sinta dan Lesmana dengan senang hati tidur diatas batu, di atas rumput , di atas pokok-pokok kayu atau tidur berdiri bersandar ke pohon sambil bersemedi.

Pada saat-saat semacam itu para menteri yang mengikutinya melakukan pengawalan dari kejauhan. Tetapi pada suatu pagi waktu para menteri itu bangun dari tidur dalam hutan telah mendapatkan gusti-gusti mereka tidak ada.


Ternyata Rama, Sinta dan Lesama mala itu sepakat meninggalkan para punggawa yang setia itu secara diam-diam. Para punggawa itu sedang tidur pulas dalam keadaan sangatletih.

Terjadilah kegaduhan. Mereka mencari kesana kemari dalam hutan lebat itu. Tetapi mereka gagal menemukan jejak-jejak gusti mereka. Akhirnya semua menangis dan kembali ke Ayodya.

Para punggawa tersebut segera memasuki istana dan langsung melaporkan kepada sri Dasarata mengenai keadaan terakhir waktu mereka mengikuti Rama, Sinta dan Lesmana hidup dalam hutan-hutan. Tidak lupa mereka menyampaikan kepada sri Dasarata permohonan rama agar Barata menggantikannya memegang takhta kerajaan Ayodya.

Mendengar laporan tersebut Sri Dasarata tertegun. Untuk beberapa saat ia tidak dapat berbicara apa-apa. Hatinya pedih dan sedih seperti diiris-iris. Ia menunduk, tidak menoleh baik ke kiri maupun ke kanan. Jiwa dan raganya tergoncang. Bayangan putranya Rama, putrid menantunya Sinta dan putranya yang lain lagi Lesmana tidak dapat hilang dari pelupuk mata, ia jatuh sakit.

Sakit Sri Dasarata ternyata tidak tersembuhkan. Badannya semakin kurus. Maksud hati ingin menyusul ke hutan, tetapi tanggung jawab terhadap praja tidak mengizinkannya. Ia tidak mau makan dan minum. Akhirnya ia meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Kegaduhan terjadi di istana. Tangis serentak memenuhi baik pagelaran maupun di kapuntren.

Raden Barata yang menunggui jenazah ayahnya tidak dapat berbicara apa-apa. Batinnya tertekan. Akhirnya hati yang sedih ditinggal ayah itu berubah menjadi marah kepada ibunya Dewi Keyaki yang dianggapnya menjadi sumber dari segala mala petaka yang menimpa keluarga Dasarata.

Kata Barata kepada ibunya, “ kanjeng ibu berdosa besar kepada kanjeng rama. Dosa ibu sungguh tidak terampunkan. Hamba yang masih sangat muda ini mengapa dimintakan untuk menjadi raja? Masih ada saudara hamba yang lebih tua, lebih berhak, lebih memiliki kesaktian dan pengalaman, ialah kakanda Rama. Mengapa ibu memaksa hamba yang harus menjadi raja? Hamba beristri saja belum. Hamba masih biasa diperintah, belm pernah memerintah. Dibanding kakanda Rama. Hamba ini bukan apa-apa.

Dibanding dengan Dinda Lesmana saja hamba ini masih kalah, baik dalam kepandaian keterampilan maupun pengalaman. Dibanding dengan Dinda teruna saja hamba baru seimbang saja. Dan lagi apa untungnya menjadi raja ini?

Apa senangnya menjadi raja dalam istana kalau saudara tua yang lebih berhak hidup dalam hutan lebat. Beberapa lamanya hidup di dunia ini. Ibu durhaka terhadap kanjeng rama. Terhadap kerajaan dan terhadap dewa.”

Mendengar ucapan putranya yang marah itu Dewi Kekayi tertegun. Mukanya menjadi sangat pucat dan menunduk. Ia malu, sedih dan akhirnya menangis. Tidak disangakanya selama ini bahwa tindakannya yang gegabah itu telah mengakibatkan malapetaka yang menimpa keluarga Sri Dasarata. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa kandungannya Barata akan menjadi semarah itu padanya.

Kejadian ini disaksikan oleh seluruh keluarga. Para keluarga menyabarkan kemarahan satria putra Dewi Kekayi itu. Tetapi kemarahan Barata ternyata tidak mudah dilerai. Kata raden Barata, “ aku tidak bersedia menjadi raja. Aku memilih menysul kanda Rama masuk dalam hutan lebat. Mati atau hidup ingin aku bersamanya. Adalah kewajibanku untuk berbakti kepada saudara tua pengganti kanjeng rama. Apa yang dilakukan oleh Lesmana adalah suatu contoh bagaimana satria harus berbakti kepada saudara tua, aku sama sekali tidak ada maksud untuk menjadi raja.”

Kehendak Barata untuk pergi ke hutan itu ternyata sulit sekali dicegah. Para ibu, adipati dan bupati menangis. Mereka meminta Raden Barata memikirkan jenazah sang prabu. Mendengar ini Barata seketika tertegun. Marahnya kepada ibunya yang dianggapnya keterlaluan itu sekeitka ikut hilang dengan rasa sesal.

Ia segera memerintahkan kepada para bupati agar segera diselenggarakan upacara pembakaran jenazah sang prabu. Pancaka tempat pembakaran jenazah segera dibangun. Jenazah Sri Dasarata dibakar dengan upacara kebesaran. Asap dupa dan wangi-wangian mengepul atas.


Setelah penyempurnaan jenazah Sri Dasarata selesai, Barata segera berangkat ke hutan dengan diikuti barisan prajurit lengap dengan tujuan memohon kepada Rama agar bersedia kembali ke Ayodya dan memimpin praja.

Ia sendiri bermaksud akan menjadi satria yang mendampinginya. Barisan yang berangkat ke hutan itu ada yang naik kuda, ada yang naik gajah dan ada yang berjalan kaki.

Sampai di tepi hutan keadaan sudah malam. Seluruh pasukan henti menginap. Keadaan sunyi sepi. Pagi harinya pasukan meneruskan perjalanan. Gunung-gunung dan bukit-bukit terjal didaki, hutan-hutan belantara yang lebat ditempuh dan jurang-jurang yang dalam dituruni.

Barata sudah bulat tekadnya bahwa kakaknya Rama harus dapat ditemukan. Ia tidak berbicara sama sekali. Para punggawa yang berjalan di kiri, di kanan, di depan dan dibelakangnya ikut diam. Suasananya benar-benar suasana yang penuh prihatin. Barisan  itu kadang-kadang berhenti di tepi danau yang berair bening. Mereka memperhatikan bunga-bunga indah yang tumbuh di sekitarnya, seperti mengelu-elukan itu.

Pada suatu petang rombongan Barata sampai disebuah pertapaan yang indah sekali. Terletak ditepi danau. Sang resi yang hanya terkenal dengan sebutan Bagawan Wadat karena ia “wadat” tiada kawin cepat-cepat mempersilahkan Barata memasuki pertapaan.


Para cantrik mempersilahkan dengan ramah para punggawa dan para prajurit agar melepaskan lelah dengan santai di asrama atau di tepi danau. Buah-buahan segar mereka edarkan. Para wanita yang menyajikan hidangan-hidangan ternyata adalah para bidadari. Keadaan ini sungguh mencengangkan.
Para pujangga menggambarkan suasana pada waktu itu dalam sebuah syair Macapat “ SINOM” sebagai berikut :

Sarwi ngidung sesendhonan
Aselor para apsari

Ingkang ambekta sugata

Angigel kang para cantrik

Denira anampeni

Pasugata ing tatamu

Brata eran tumingal

Dadi asipeng saratri

Dalu matur ing resi aminta tedah


Yang artinya bahwa para bidadari yang menyajikan hidangan itu sambil menyanyi dan para cantrik yang mempersilahkan kedatangan tamu-tamu itu sambil menari. Menyaksikan itu semua Barata sangat heran. Ia memutuskan menginap di situ satu malam. Pada malam itu Barata meminta petunjuk kepada sang resi mengenai dimana tempat kakaknya Rama berada. Pendeta linuwih yang ternyata adalah kekasih dewa itu menjelaskan bahwa satria Ramawijaya beserta istri dan adiknya sekarang ini berada di gunung di sebelah selatan yang Nampak dari pertapaan.

Mereka berada disebuah pertapaan yang sangat indah bernama Gunung Kutarunggu. Meraka sedang memperdalam ilmu lagi pada seorang pendeta linuwih. Mendengar petunjuk tadi, pagi harinya Barata dan rombongan segera menuju ke tempat yang di tunjuk.

Di pertapaan Kutarunggu Raden Lesmana yang waktu itu sedang berada diluar pertapaan terkejut menyaksikan datangnya pasukan besar. Ia segera mengambil gendewa dan panah dan segera dalam keadaan siap. Ia mengira muduh besar telah datang. Tetapi setelah diperhatikannya dengan seksama, ternyata pasukan yang datang itu hanyalah pasukan kehormatan, peralatannya mirip dengan pasukan pengiring priayi agung yang sedang berburu.
Lama-lama Lesmana mulai mengenal para adipati dan bupati yang berjalan di depan. Jelas bahwa mereka adalah orang-orang Ayodya. Lesmana cepat-cepat memasuki pertapaan dan melapor kepada Rama. Begitu terlihat Rama keluar dari bertapaan Barata segera lari melakukan sembah.

Barata melaporkan semua kejadian di Ayodya sepeninggal kakaknya termasuk meninggalnya Sri Dasarata. Sambil melakukan sungkem dan menangis Barata berkata, “ Duh Kanda, kembalilah sekrang juga ke Ayodya dan menjadi raja disana. Hamba hanya akan menjadi satria pendamping saja.”

Mendengar laporan Sri Dasarata meninggal, Rama, Lesmana dan Dewi Sinta menangis serentak. Para punggawa yang menyaksikan ikut juga menangis.
Setelah beristrirahat sejenak Rama berkata kepada Barata,” Adikku Barata, kembalilah ke Ayodya. Jadilah engkau raja disana. Jangan mengkhawatirkan diriku. Aku berada dihutan adalah atas petunjuk kanjeng rama. Engkau harus memimpin praja, mengayomi keluarga.”

Barata melakukan sembah. Katanya,”Bagaimana dinda dapat menjadi raja, sedangkan kakanda berada di gunung hidup bersusah payah? Kakanda telah diangkat secara resmi menjadi raja dan kakanda memenuhi semua syarat, termasuk sakti mandraguna, trampil dan berpengalaman, sedang dinda ini apa?”
Rama tersenyum. Katanya,” Turutlah petunjukku, adikku,” Barata melakukan sembah sambil menangis,” Dinda tidak bersedia, mati atau hidup dinda ingin ikut kakanda hidup dihutan.”


Rama memaksa,” Engkau mewakiliku, engkau menggantikanku. Kalau engkau tidak mau lantas siapa lagi yang harus memimpin bala tentara dan mengayomi rakyat senegera?”

Mendengar ucapan kakanya yang bernada memaksa itu Barata tidak berani menolak lagi. Sejak kecil ia tunduk lahir batin kepada kakanya ini . katanya menunduk sambil melakukan sembah,” Dinda akan melaksanakan semua petunjuk kakanda.”

Rama senang hatinya. Katanya, “ he Barata, kalau engaku sudah menjadi raja ada pesanku sedikit. Ada pentunjuk tertulis di istana bagaimana seorang raja harus bertingkah laku. Pelajarilah sastra petunjuk tersebut baik-baik. Disana diterangkang bagaimana sejak dahulu seseorang raja harus memerintah. Kelakuan manusia dari yang jahat, baik sampai yang utama harus engkau ketahui. Menghadapi mereka ini harus lain-lain caranya. Yang jahat ini sering menimbulkan keonaran, tidak jarang menimbulkan korban jiwa manusia. Perbaikilah kelakuan mereka itu. Jadikanlah mereka itu orang baik-baik.

Yang sudah baik usahakan agar menjadi utama. Yang utama ini jadikanlah teman. Tetapi ingat, baik yang jahat, yang baik, maupun yang utama adalah rakyatmu yang harus mendapat perlakuan yang sama.

Baik yang jahat, yang baik maupun yang utama tentu ada penyebabnya masing-masing. Pelajarilah penyebab-penyebab itu. Kalau ada yang jahat dan telah engkau usahakan agar menjadi baik tidak berhasil, tetapi malahan menimbulkan korban jiwa manusia, musnakan saja ia. Ia merupakan bibit kejahatan di hari-hari mendatang.

Hindarkan rakyatmu dari hidup maksiat seperti maling, madon, madat, minum, main, mangani, mada dan sebagainya.

Kalau ada prajurit bertindak semaunya harus cepat-cepat engaku tindak, karena prajurit semacam itu didalam peperangan akan bertindak sendiri mendahului perintah dan ini akan mengacaukan peperangan pihak sendiri. Cintailah prajurit-prajurit dan rakyatmu. Cinta kasihmu kepada mereka harus tidak ada perbedaan, entah ia keturunan rakyat biasa, entah ia keturunan ningrat.

Harus ada prajurit-prajurit pilihan yang setia yang merupakan kekuatan khusus yang dapat digunakan swaktu-waktu jika ada bahaya mengancam praja. Disamping mempelajari sastra petunjuk tersebut  jangan lupa engkau akan kewaspadaan, sekali lagi kewaspadaan. Engkau sekali-kali jangan terpengaruh oleh laporan yang berdasarkan atas rasa dengki, fitnah atau ditambah-tambah. Engkau jangan mudah menjadi marah. Marah dapat menimbulkan lupa. Hindarkan pertengkaran dengan siapa pun.

Di samping membrantas kemaksiatan engkau sendiri jangan lupa untuk selalu melakukan semadi kepada dewa meminta restu dan petunjuknya. Jangan segan-segan meminta nasihat-nasihat kepada para pendeta. Jangan engkau bertingkah laku seperti singa atau harimau didalam hutan, karena singa atau harimau hanya ditakuti, bukan dihormati.

Musuh yang telah menyerah jangan disakiti, teteapi dilindungi. Tindakan seperti itu direstui dewa. Tindakanmu harus tegas tetapi tepat, adikku dan juga adil. Sikap ragu-ragu adalah tidak terpuji. Dan jangan lupa, sebagai seorang raja engaku harus pengampun. Mudah memaafkan.”

Setelah selesai menerima petunjuk-petunjuk Barata beserta pasukan pengiringnya meminta diri. Perpisahan ini mengharukan. Barata melakukan sembah sungkem sambil menangis, begitu juga semua adipati dan bupati yang hadir.

Barata merasa dirinya seperti menjadi manusia baru setelah menerima petunjuk-petunjuk dari Prabu Ramawjaya kakaknya. Barata merasa hanya akan memerintah Ayodya atas nama Rama, manjadi raja Ayodya atas nama Rama.

Sebelum berangkat Barata diajak menyendiri oleh Rama. Prabu Ramawijaya penitisan Batara Wisnu Sejati yang mahir ulah kependetaan dan kesaktian itu meneteskan api ke tubuh adiknya Barata. Tubuh Barata mendadak terbakar, tetapi hanya sebentar. Api cepat sekali padam dan tubuh Barata menjadi bersinar.


Barata merasa mendapat tambahan kekuatan dan kesaktian. Barata semakin tunduk dan mencintai lahir batin kakaknya ini. Waktu rama meneteskan api pada tubuh Barata ia sambil membisikkan ilmu-ilmu dan aji-aji jaya kawijayan.

Barata dan pasukan pengiringnya segera meninggalkan pertapaan Kutarunggu. Kedatangan Barata di negeri Ayodya disambut dengan gembira oleh rakyat dan seluruh penghuni istana. Karena  semuanya sekarang menjadi jelas.

Ia memerintah atas nama Rama dan mendapat restunya. Ibu-ibu di dalam istana hidup rukun penuh pengertian. Barata benar-benartelah menjadi raja utama yang memerintah Ayodya.


Untuk membaca kisah lengkap Ramayana silakan Klik Disini.

Posting Komentar untuk "Ramayana : Rama Tundhung"